Bisakah Dpr Dibubarkan

Bisakah Dpr Dibubarkan

Presiden tidak bisa membubarkan DPR

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Dalam hal kekuasaan, presiden tidak bisa membubarkan DPR sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945. Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Dalam pada 7C UUD 1945 dinyatakan bahwa:

“Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”

Secara kedudukan, presiden dan DPR sesuai konstitusi juga punya kedudukan sejajar sebagai lembaga negara, maka keduanya,  baik DPR atau presiden tidak bisa saling dibubarkan. Dalam sistem parlementer, presiden sebagai kepala negara baru bisa membubarkan parlemen.

Gus Dur pernah berupaya bubarkan DPR

Selain Sukarno, Presiden yang pernah berupaya membubarkan DPR adalah Gus Dur. Dia pernah mengeluarkan dekret presiden pada 23 Juli 2001.

Isi Dekret Presiden 23 Juli 2001 adalah pembekuan DPR dan MPR, pengembalian kedaulatan di tangan rakyat dan pembekuan partai Golongan Karya (Golkar). Isi dekret yang menyatakan pembekuan DPR dan MPR menjadi salah satu pernyataan yang paling menyita perhatian publik.

Dekret Presiden 23 Juli 2001 dinyatakan tidak berfungsi usai MPR menggelar sidang istimewa dan menyatakan Gus Dur sudah melanggar Tap MPR no. III/MPR/2000, karena memberhentikan Kapolri tanpa persetujuan DPR.

- Bila kisruh DPR makin panjang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa mengeluarkan dekrit presiden untuk membubarkan DPR. Karena itu, DPR diimbau untuk mengakhiri perseteruan perebutan pimpinan komisi di DPR. Demikian pendapat Direktur Eksekutif Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Ray Rangkuti saat melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR, Jl. Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (2/11/2004). Ray berunjuk rasa bersama sekitar 15 anggota KIPP. Menurut Ray, KIPP menentang perseteruan di lembaga legislatif. "Bila DPR macet, maka presiden berhak mengeluarkan dekrit dengan tujuan membubarkan DPR. Ini adalah krisis konstitusi," kata Ray. Aksi ini, kata dia, merupakan sinyal bahwa masyarakat khawatir akan kondisi yang terjadi di dewan. "Bila hari ini kita bertemu, kita mau bertemu siapa. Tapi, pada dasarnya kita tidak setuju bila DPR dibubarkan. Persoalannya, meski dipertahankan, karena kisruh, mereka tetap tidak bekerja," kata dia. KIPP juga mengimbau anggota dewan segera mengakhiri perseteruan perebutan kursi. "Kemudian, baik bagi Koalisi Kebangsaan maupun Koalisi Keraktyatan untuk menempatkan kepentingan rakyat. Kami juga mengingatkan kepada masarakat untuk bersama-sama memantau dan mengkritisi anggota dewan," ujarnya.

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Bisakah Bercerai Karena Suami Selalu Membanting Pintu? yang dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada tanggal 17 Juli 2019.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Alasan-alasan Perceraian

Berkaitan dengan pertanyaan Anda, mengenai bisakah menggugat cerai suami karena sering marah-marah dan membanting pintu?

Pada dasarnya, Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan menegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan jika ada cukup alasan, yaitu antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

Disarikan dari artikel Bisakah Bercerai karena Tak Bisa Punya Anak?, alasan-alasan perceraian telah ditentukan secara limitatif, sehingga suami atau istri tidak dapat sesuka hati menceraikan pasangannya. Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 19 PP 9/1975 telah menentukan alasan perceraian sebagai berikut:

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;

f. antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Selain alasan-alasan tersebut, Pasal 116 KHI juga menambahkan 2 alasan perceraian lainnya. Menurut Pasal 116 KHI, perceraian dapat terjadi karena alasan suami melanggar taklik talak dan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.[4]

Baca juga: Bisakah Cerai karena Suami Pemabuk?

Selanjutnya, Pasal 16 PP 9/1975 menyatakan bahwa pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 PP 9/1975, dan pengadilan berpendapat bahwa antara suami istri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan jika terdapat alasan-alasan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Menjawab pertanyaan Anda, Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, Pasal 19 PP 9/1975, dan Pasal 116 KHI tidak menyebutkan suami yang suka marah-marah/kasar secara verbal dan sering membanting pintu sebagai alasan perceraian. Namun, istri tetap bisa mengajukan perceraian jika suami berbuat demikian. Karena, perbuatan suami tersebut dapat berakibat pada perselisihan dan pertengkaran, sehingga rumah tangga tidak rukun. Tentunya alasan tersebut diajukan bersamaan dengan gugatan perceraian yang diajukan istri.

Baca juga: Suami Sering Merendahkan Istri, Ini Pasal untuk Menggugat Cerai

Jakarta, IDN Times - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia adalah lembaga legislatif dalam sistem pemerintahan negara. Menurut konstitusi dan undang-undang yang berlaku DPR punya fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran.

DPR sendiri pernah dibubarkan di masa pemerintahan Presiden Sukarno. Kala itu pada pemilihan umum pertama 1955, di masa kabinet Burhanuddin Harahap dilaksanakan pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR, pemenangnya adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan perolehan 8.434.637 dan mendapat 57 kursi di dalam pemerintahan. Namun lima tahun kemudian, Sukarno memutuskan membubarkan DPR.

Definisi dan Jenis-jenis KDRT

Lalu, timbul pertanyaan, apakah perbuatan suka marah-marah/kasar secara verbal dan sering membanting pintu termasuk kekerasan?

Menurut Pasal 1 angka 1 UU PKDRT, Kekerasan dalam Rumah Tangga (“KDRT”) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Lebih lanjut, jenis-jenis KDRT dalam dikelompokkan ke dalam 5 bentuk, yaitu:[8]

Dengan demikian, menurut hemat kami perbuatan suami Anda yang suka marah-marah dan kasar secara verbal merupakan KDRT. Selain itu, perbuatan suami Anda yang seringkali membanting pintu, dapat dikategorikan sebagai kekerasan psikis, karena perbuatannya mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Anda).[9]

Pelaku kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dipidana penjara maksimal 3 tahun atau denda maksimal Rp9 juta. Dalam hal kekerasan psikis dilakukan suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan/mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari dipidana penjara maksimal 4 bulan atau denda maksimal Rp3 juta.[10]

Baca juga: Hukum KDRT Suami Pukuli Istri Berkali-kali

Sebagai informasi, Anda sebagai korban KDRT dapat melaporkan tindakan kekerasan dalam rumah tangga melalui beberapa layanan sebagai berikut:

Korban KDRT dapat pula melaporkan kejadian KDRT langsung ke pihak kepolisian. Langkah lebih detail dapat disimak dalam Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Putusan Pengadilan Agama Sarolangun 0077/Pdt.G/2011/PA.Srl.

[2] Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan

[4] Pasal 116 huruf g dan h KHI

[5] Pasal 132 ayat (1) KHI

[6] Pasal 133 ayat (2) KHI

[7] Pasal 119 ayat (1) KHI

[8] Mohammad ‘Azzam Manan, MA. Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Sosiologis. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 5, No. 3, 2008, hal. 15 – 16

Kirim masukan terkait...

Pusat Bantuan Penelusuran

Gugatan Cerai oleh Istri

Terkait gugatan perceraian, KHI mengatur ketentuan bahwa gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.[5]

Kemudian, gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.[6]

Ulasan selengkapnya mengenai ketentuan istri menggugat suami, dapat Anda temukan dalam artikel Bisakah Istri Diam-Diam Menggugat Cerai Suami? dan Cara Mengurus Surat Cerai dan Langkah Mengajukan Gugatannya.

Baca juga: Panduan Cara Mengurus Surat Cerai Online dan Offline

Sebagai contoh kasus, dalam Putusan PA Sarolangun 0077/Pdt.G/2011/PA.Srl, penggugat mengajukan gugatan perceraian terhadap tergugat, karena antara penggugat dan tergugat terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan oleh tergugat yang sering meninggalkan rumah tanpa tujuan dan alasan yang jelas, serta tergugat apabila marah sering mengeluarkan kata-kata kasar seperti “kepala bapak kau”, “kurang ajar kamu”, “anjing”, “babi”, dan lain-lain (hal. 6 – 12).

Dalam pertimbangan Majelis Hakim, perceraian antara penggugat dan tergugat dapat terjadi karena alasan yang terdapat dalam Pasal 19 huruf (f) PP 9/1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI, yaitu antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (hal. 15-16).

Dengan demikian, dengan dikabulkannya gugatan penggugat, maka pengadilan menjatuhkan talak tergugat terhadap penggugat, dan oleh karena perceraian ini adalah yang pertama, maka berdasarkan Pasal 119 KHI, talak yang dijatuhkan terhadap penggugat adalah talak satu ba’in sughra (hal. 17-19).

Adapun yang dimaksud dengan talak ba`in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.[7]

Baca juga: Cara untuk Rujuk Setelah Ditalak Bain Sughra

DPR hasil Pemilu 1955 dibubarkan

Sukarno membubarkan DPR pada 1960 lewat dekret presiden. Pemilu 1955 tidak dilanjutkan sesuai jadwal pada lima tahun berikutnya, 1960. Hal ini dikarenakan pada 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekret Presiden yang membubarkan Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945.

Kemudian pada 4 Juni 1960, Sukarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Sukarno secara sepihak melalui Dekret 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.

Baca Juga: CEK FAKTA: DPR Endorse Influencer Mau Giring Opini RUU Pilkada, Benar?

Dasar Hukum Perceraian

Pada dasarnya, Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan telah mengatur bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Di lain sisi, pihak istri juga wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.[1] Apabila salah satu pihak, baik suami maupun istri, mengabaikan kewajibannya tersebut, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.[2]

Adapun perceraian merupakan upaya terakhir memutuskan perkawinan yang harus dilakukan di depan sidang pengadilan setelah seluruh upaya mendamaikan suami istri tidak berhasil.[3]